Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2016

Setan In The Food

Pernah dengar sambal setan? Rawon setan? Atau malah pernah mencicipi aneka makanan itu? Saya sih belum pernah. Tetapi melewati tempat makan yang salah satu menunya tertulis seperti itu, sering. Iseng-iseng saya tanyakan hal ini pada kawan saya. "Eh, kamu pernah ngrasain rawon setan di daerah ini?" "Oh, itu. Pernah, sekali. Pas lewat kami penasaran dengan tulisan rawon setannya itu. Jadi nyobain deh!" kata kawan saya. " Gimana rasanya?" tanya saya ingin tahu. "Sama aja sama rawon yang biasa dijual di warung-warung Jawa Timura . Bedanya, sambelnya itu puedes poool. Jadi pas dicampur ke rawon rasanya yo pedes tenan. Sampe ngrembrobyos keringete." Saya manggut-manggut mendengar cerita teman saya itu. Berarti kalo sambel setan ya pedesnya luar biasa dong! Iiiihh... gak pengen coba-coba deh. Soalnya saya gak suka pedes. Gak nyaman aja makan makanan yang terlalu pedas. Saya suka yang sedang-sedang saja...hehehehe. Nah, yang sempet t

Uzur

Putih kelabu mewarnai rambutnya. Kering keriput menghiasi kulit tubuh dan wajahnya. Seorang lelaki tua tertatih-tatih menyeret kaki, menghitung langkah. Seolah ada beban yang menindih punggungnya. Berat! Seperti itukah menjadi uzur? Bagaimana rasanya menjadi uzur itu? Dokumen pribadi Pertanyaan itu bergaung dalam benak saat menyaksikan lelaki tua renta, berjalan tertatih-tatih ditepian rel kereta api. Sendirian! Di antara kerumunan orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Kemana keluarganya? Kenapa ia dibiarkan sendirian seperti itu? Apakah menjalani masa uzur seperti bermain lotre? Untung-untungan! Untung jika memiliki keluarga yang peduli, mau merawat dan menjaga sampai ajal menjemput. Buntung! Jika memiliki keluarga yang tak peduli. Jangankan merawat! Keberadaannya saja mungkin sudah menyusahkan. Maka dibiarkannya tertatih-tatih sendirian di luar seperti itu. Tega nian! Ketahuilah! Kelak, jika umur kita mencapai kata uzur, kita pun mengalami hal yang sama. Tenaga

Layar Tancap Dalam Kenangan

Pada suatu hari ketika saya melewati sebuah perkampungan yang sedang menggelar hajatan, ada sebuah pemandangan yang tiba-tiba menggelitik hati. Yaitu layar tancap (layar tancep). Sesuatu yang sudah jarang sekali ditemukan. Apalagi di zaman sekarang.  Dokumen pribadi Padahal beberapa tahun yang lalu layar tancap pernah menjadi primadona masyarakat. Terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah. Dahulu dalam setiap acara hajatan terutama jika masyarakat Betawi yang menggelarnya, layar tancap menjadi sebuah hiburan yang ditunggu-tunggu. Semacam tren mark yang tak boleh dilewatkan. Bahkan bisa menaikkan gengsi si pemilik hajat, bila dilihat dari jenis layar tancap yang disewa. Mabak. Itu salah satu jenis layar tancap yang dianggap paling bagus. Dari tampilan di layar, kejernihan suara dan kualitas gambar yang baik, mabak memang berbeda. Oleh karena itu harga sewanya konon mahal. Tak heran bila si empunya hajatan lantas disebut sebagai orang yang mampu. Sekitar tahun 1990-an ke bel

The Power of Sedekah

"Baju-baju ini sudah males make nih. Bosen! Kasihkan orang sajalah. Hitung-hitung sedekah!" ujar si A.  Picture by pixabay Lain lagi dengan yang diucapkan si B. "Ini kue masih mau dimakan gak sih? Kalau gak mau kasihkan ke orang aja darip ada basi! Ngasih makanan itu sedekah tauk!" Berbeda lagi dengan ucapan si C. " Hadeuuuh...! Uang kembaliannya kenapa lecek begini? Udah masukin kotak amal aja deh. Daripada ngotorin dompet. Cuma sepuluh ribu ini!" Pernah mendengar kata-kata seperti itu? Atau malah pernah berkata seperti itu? Jika iya, tidak disalahkan kok. Hanya perlu diluruskan. Karena jika dicermati lebih dalam, makna sedekah di sana jadi terdengar miris. Bayangkan, mau sodaqoh uang kok karena uangnya sudah jelek. Kalau masih lurus tentu masuk kantong lagi. Lalu mau sodaqoh makanan kok ya karena sudah tidak suka lagi makanannya. Bisa jadi sudah mau basi itu makanan. Kata-kata tersebut di atas jadi menandakan betapa sedekah itu suatu hal

Piala Bhayangkara Hiburan Seru di Tengah Kisruh Politik

Di tengah carut-marut politik negeri ini. Di tengah ramainya skandal reklamasi pantai. Saat menunggu hasil penyidikan KPK tentang bos-bos properti yang kemungkinan terlibat korupsi. Juga di tengah mati surinya persepak bolaan negeri ini, ada gelaran besar di Stadion Utama Gelora Bung Karno pada hari Minggu tanggal 3 April 2016. Final turnamen Piala Bhayangkara antara Persib Bandung melawan Arema Malang. Dokumen pribadi Hal itu menjadi hiburan tersendiri bagi seluruh rakyat di negeri ini. Utamanya mereka para pecandu sepal bola. Untuk sejenak pikiran mereka rehat dari jejalan berita dan aksi para dagelan dari panggung politik. Rivalitas kedua klub menjadi magnet tersendiri bagi "petinggi-petinggi" nasional dan daerah. Tak heran sebab kedua klub tersebut merupakan klub besar di jagad persepak bolaan nasional.  Mereka juga memiliki nama besar dikalangan penggila sepak bola, Aremania dan Viking Bandung. Kecemasan pun sempat melanda para "petinggi" itu. Maka digelarla

Ketika Mati Jadi Penutup Masalah

"Rasanya gue pengen mati aja deh ! Gue udah gak kuat ngadepin masalah ini!" Picture by pixabay Begitu sepengal kalimat yang terucap dari orang yang putus asa. Enteng sekali ia berucap seperti itu. Seolah-olah mati adalah akhir dari segalanya. Mati, dead, koit dan entah apa istilah lainnya, menjadi kata kunci bagi mereka yang dilanda putus asa. Dengan mati mereka pikir akan selesai segala permasalahan. Weleh, cetek sekali cara berpikir mereka. Padahal kalau mereka menyadari bahwa kematian adalah awal dari kehidupan baru yang kekal dan abadi, yang hanya ada dua pilihan tempat. Surga atau neraka. Tentu mereka akan berucap,"Aku ingin hidup seribu tahun lagi!" Ya, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Tapi awal kehidupan baru. Yang lebih kekal dan abadi. Kekal menjalani kehidupan yang enak, yakni di surga. Dan kekal pula menjalani kehidupan yang menyakitkan, yakni di neraka. Maka jangan berputus asa jika dalam kehidupan ini mengalami suatu masalah yang diras