Jamu dan ibu dua hal yang tak akan pernah hilang dari ingatanku. Keduanya, jamu dan ibu mewarnai perjalanan hidupku sebagai seorang perempuan. Terutama sebagai perempuan Jawa.
Jamu kunyit asem (dok. Denik)
Terlahir sebagai perempuan dari keluarga Jawa, ibu berasal dari Jawa Tengah dan bapak dari Jawa Timur. Aku merasa beruntung. Sebab mendapat pengasuhan dari dua budaya yang berbeda tapi tetap satu.
Maksudnya dua budaya tersebut adalah budaya Jawa Timur yang sedikit keras, dan budaya Jawa Tengah yang lebih lembut. Keduanya sama-sama Jawa. Oleh karenanya aku sebut dua budaya yang berbeda tapi tetap satu. Yakni budaya Jawa.
Sebagai keturunan Jawa Timur, aku dididik untuk menjadi perempuan pemberani dan mandiri. Perempuan yang tidak cengeng dan lembek. Berani karena benar. Tipikal orang Jawa Timuran pada umumnyalah.
Sementara sebagai anak keturunan Jawa Tengah, aku juga dididik untuk bisa bersikap Njawani. Artinya harus mengikuti anjuran-anjuran leluhur tentang bagaimana seharusnya perempuan Jawa itu.
Anjuran tersebut contohnya harus doyan jamu. Perempuan Jawa harus doyan jamu. Baik jamu pahitan maupun jamu yang manis. Maka sejak usia remaja aku sudah dicekoki jamu.
"Biar badannya seger."
"Biar nanti kalo punya suami, suaminya betah karena sedep."
Aku remaja mana "mudeng" dengan argumen mereka. Ibu dan nenek. Waktu itu nenek dari ibuku masih ada. Pokoknya teguk saja jamu yang ibu buatkan. Karena rasanya manis-manis asem gitu. Enak sih. Memang segar.
Itulah jamu kunyit asem. Campuran kunyit dan asem yang diberi sedikit gula. Jamu pertama yang kuminum. Jamu buatan ibu yang rajin menggodok sendiri menggunakan kendil dari tanah liat. Jamu yang rutin kuminum setiap datang bulan alias menstruasi.
"Biar badanmu seger dan tidak amis akibat darah haid yang keluar."
Aku sih iya, iya saja. Lha, wong enak kok rasa jamunya. Selanjutnya aku juga diminta untuk minum jamu pahitan. Jamu yang rasanya pahit sekali. Karena dari rebusan brotowali.
Tanaman obat yang kaya manfaat. Meski rasanya pahit. Tapi khasiatnya luar biasa. Bisa menurunkan kadar gula, mencegah radang tenggorokan, meningkatkan daya tahan tubuh, melawan bakteri dan menjaga kesehatan tulang.
Kalau melihat khasiatnya sih aku merem saja minumnya. Pokoknya biar pun seteguk harus diminum.
"Biar sehat," ujar ibu.
Selebihnya aku lebih senang minum jamu kunyit asem. Bahkan aku kerap membawanya kemana-mana. Kuminum bersama teman-teman. Eh, malah ada yang pesan segala loh.
"Boleh gak gue pesen sebotol? Berapa harganya? Kunyit asem buatan nyokap Lo seger banget rasanya."
Aku kabarkan hal tersebut pada ibu. Awalnya ibu tidak mau dibayar. Lalu kukatakan pada ibu. Kalau satu sekolah pesan apa tetap enggan dibayar? Ini tersenyum.
"Ya ngajak bangkrut kalau gitu sih."
Akhirnya jamu kunyit asem buatan ibu menjadi sumber penghasilan tambahan. Alhamdulillah rezeki tak terduga.
Sejak itu aku tak hanya rajin minum jamu kunyit asem. Tapi juga rajin mempromosikan jamu buatan ibu.
Dulu. Ya, itu dulu saat aku masih sekolah. Setelah ibu tiada tak ada lagi yang membuatkan jamu kunyit asem lagi.
Berhubung aku sudah telanjur suka dengan jamu kunyit asem, sampai sekarang tetap minum jamu kunyit asem. Karena memang terbukti khasiatnya.
Namun jamu kunyit asem yang kuminum sekarang beli di iyuk jamu keliling. Kalau yang modern berupa jamu kemasan. Meski tidak sesegar jamu buatan ibu. Setidaknya aku tetap menjaga tradisi sebagai perempuan Jawa yang gemar minum jamu. Juga menunaikan amanat ibu.
"Minum jamu itu sehat. Dengan minum jamu tubuh kita juga terasa segar."
Ah, jadi rindu ibu dan jamu kunyit asam buatannya.
Komentar
Posting Komentar