Beberapa pekan ini saya mengikuti perkembangan kasus penyimpangan seksual yang terjadi pada anak di bawah usia 10 tahun. Bayangkan? Belum genap 10 tahun sudah melakukan penyimpangan seksual? Miris bukan mendengarnya?
Pelakunya anak usia 8 tahun. Korbannya anak usia 5 tahun. Shock mendengar cerita si korban, tentang kronologis kejadian tersebut.
Saya mengetahui kasus tersebut sebab si ibu korban speak up di media sosialnya. Secara gamblang ia menceritakan bagaimana dan apa yang dialami oleh putranya yang berusia 5 tahun.
Saya sangat shock membaca ceritanya. Memposisikan sebagai si ibu yang anaknya jadi korban penyimpangan seksual. Bagaimana si anak dengan polosnya bercerita bahwa temannya yang berusia 8 tahun memasukkan alat kelaminnya ke dubur dia.
Si anak jelas ketakutan dan tidak suka. Apalagi hal tersebut bukan sekali dilakukan. Mirisnya, peristiwa tersebut terjadi di tempat ibadah. Dalam hal ini peristiwa terjadi di masjid. Saat orang dewasa sedang melakukan salat berjamaah.
Si korban diajak oleh kakeknya untuk salat di masjid. Kebiasaan baik yang mulai ditanamkan sejak kecil. Karena memang demikian salah satu cara mengajarkan nilai-nilai agama pada anak-anak.
Siapa sangka justru di sana si anak mengalami hal-hal yang tidak semono. Oleh karenanya ia tidak mau lagi pergi ke masjid dan kumpul dengan teman-temannya.
Hal inilah yang membuat si ibu marah pada si anak. Karena tdak mau salat ke masjid lagi. Justru dari sinilah si ibu mengetahui masalah yang dialami putranya.
Kemudian ia dan keluarga melaporkan kejadian tersebut pada orang tua pelaku.
Saat si pelaku ditanya kenapa melakukan hal tersebut, jawabannya pun sangat polos. Soalnya enak. Astagfirullah.
Hasil pertemuan untuk menindaklanjuti masalah tersebut sangat mengecewakan.
Oleh karenanya si ibu mengadukan kasusnya kepihak-pihak terkait. Membuat story di instagram pribadi. Intinya ia berusaha dengan segala cara meminta keadilan atas apa yang menimpa anaknya.
Hasilnya pun sangat mengecewakan.
Belum ada kabar dan kejelasan tentang sanksi yang harus diterima oleh keluarga pelaku. Hanya sebatas edukasi.
Biyuh, biyuh. Hanya sebatas itu saja? Sementara korban mengalami trauma yang tidak mudah dihapus begitu saja. Saya yang memiliki keponakan masih kecil-kecil merasakan kekhawatiran yang sangat. Betapa lingkungan sekitar kita penuh dengan marabahaya.
Banyak ancaman yang mengintai. Tak hanya dari orang dewasa tapi juga dari teman sendiri. Saya ikut emosi mengikuti kasusnya. Kok pihak-pihak terkait yang diberi laporan tidak memiliki empati ya? Coba sih bayangkan kalau yang dialami mom blogger ini anak kalian?
Anak yang jadi korban pelecehan seksual mentalnya beda-beda loh. Ada yang jadi murung, penyendiri, dan uring-uringan. Ada yang cuma takut dengan teman yang jadi pelaku lalu tidak mau bertemu dan bermain bareng lagi.
Namun jejak digital itu kejam. Mungkin saat ini tidak merasakan efeknya. Tapi begitu dewasa dan mengetahui kasusnya ramai di media sosial, Bisa jadi si anak yang jadi korban merasa malu. Merasa sudah dinodai.
Yang lebih parah kalau sampai menghambat karir dan hubungan sosialnya. Hal ini yang harus dipikirkan ke depannya. Oleh karenanya harus ada penyelesaian yang adil.
Karena kasus ini menimpa anak-anak dan pelakunya anak-anak, tidak mudah untuk mengambil tindakan hukum. Mereka dilindungi undang-undang. Tapi kalau tidak diberi efek jera, ia tidak tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah.
Lalu siapa yang bertanggungjawab?
1 . Orang tua pelaku
Keduanya merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas perilaku si anak. Seorang anak terlahir bak kertas putih. Orang tuanya yang membuat seorang anak akan menjadi seperti apa nantinya. Bagaimana pengawasan terhadap anak? Kok sampai bisa melakukan penyimpangan?
2 . Orang dewasa di lingkungan sekitar
Dimana si anak bermain harus ada pengawasan juga. Kalau terlihat gerak-gerik mencurigakan dari anak-anak harus dicermati.
3 . Aparat setempat
Kita tinggal di lingkungan yang terstruktur. Ada RT, RW, Lurah dan seterusnya. Mereka bertanggungjawab terhadap masalah yang terjadi dilingkungannya. Beri tindakan terhadap warganya yang berbuat menyimpang atau merugikan warga lainnya. Pemimpin yang baik akan bertindak adil.
4 . Pemuka agama
Ajak pemuka agama untuk menyelesaikan masalah yang terjadi sesuai dengan agama masing-masing. Orang yang benar-benar paham agama maka tahu persis apa yang harus dilakukan.
5 . Pihak-pihak terkait
Sebelum masuk ke ranah hukum, ada lembaga atau organisasi yang terkait dan bisa mengatasi masalah seperti ini. Mereka harus sigap saat mendapat laporan. Jangan hanya koar-koar di media saja. Tapi harus ada tindakan nyata dan tegas.
Lima poin di atas mestinya bisa menjadi jembatan antara pihak korban dan pelaku. Dengan catatan harus adil. Jangan memihak.
Orang tua pelaku harus bertanggungjawab. Berani speak up juga kalau mereka kecolongan atau apalah yang berakibat si anak bertindak di luar nalar. Jangan menganggap kejadian ini cuma masalah kecil.
Harus dimaklumi. Namanya juga anak-anak. Apalagi sampai menutupi perbuatan si anak. Melindungi kesalahan justru membuat si anak besar kepala. Ini namanya menjerumuskan anak. Bukan sayang yang sesungguhnya.
Penyimpangan seksual bukan kenakalan biasa. Itu suatu kelainan yang harus segera ditangani. Jika dibiarkan tak hanya merusak diri sendiri tapi juga orang lain. Mari saling menjaga dan waspada.
Pemerintah harusnya tanggap terhadap kasus yang menimpa generasi sekarang. Semua itu efek dari teknologi dan informasi yang semakin mudah diakses. Tapi keluarga benteng utama dalam pendidikan dan perilaku anak di masa depan. (Denik)
Note:
Tulisan senada tayang juga di Kompasiana dengan judul sama.
Komentar
Posting Komentar