Langsung ke konten utama

Roy, The Reason I Ride A Bike From Tangerang To Serang

Bersepeda merupakan salah satu kegiatan yang sangat menyenangkan. Digemari oleh anak-anak dan orang dewasa. Laki-laki maupun perempuan.

Saya sendiri belajar mengendarai sepeda ketika duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Belajar dari teman-teman, bukan diajari oleh orang tua. Karena saya baru dibelikan sepeda pada saat masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP). Karena jarak sekolah dari rumah lebih jauh lagi dibandingkan saat SD.

Namun sejak SD itu saya dan teman-teman sering berkeliling dari satu komplek ke komplek lain. Dari satu kampung ke kampung lain. Dengan berboncengan atau meminjam sepeda teman yang tidak ingin ikut berkeliling. Selama berkeliling dengan sepeda pikiran saya berkelana kemana-mana. Membayangkan kisah-kisah bersepeda dari buku yang pernah saya baca.


Buku-buku yang menginspirasi

Saya senang membaca. Saat SD buku yang saya baca salah satunya adalah Lima Sekawan. Saya senang sekali membayangkan petualangan-petualangan seru mereka. Dengan mengendarai sepeda ditemani seekor anjing yang pintar.

Ketika SMP kisah Balada Si Roy yang saya baca di majalah Hai milik abangnya teman, semakin menguatkan keinginan saya untuk bertualang dengan sepeda. Rasanya menyenangkan sekali bisa pergi kemana-mana tanpa harus meminta uang pada orang tua.

Buku Balada Si Roy "Joe" (dokpri)


Buku Lima Sekawan "Nyaris Terjebak"

Dengan bersepeda, cukup membawa bekal makanan dari rumah dan uang jajan yang diberikan oleh orang tua rasanya sudah senang. Pikiran sederhana anak-anak yang belum jauh daya pikirnya. Karena yang ada dipikiran hanya senang-senangnya dan kebebasan. Tidak terpikir kalau nanti bannya bocor bagaimana, kalau ada yang rusak bagaimana. Tapi itulah anak-anak dan yang saya rasakan juga kala itu.


Film Lima Sekawan


Hanya sebatas mimpi

Yah, hanya sebatas mimpi. Semua keinginan saya untuk bisa bertualang dengan mengendarai sepeda. Karena orang tua terutama bapak, pada saat saya SMP sudah mulai ketat menerapkan aturan. Cenderung keras saya pikir, kala itu. Kalau sekarang saya sudah tahu kenapa bapak seperti itu. Karena saya anak perempuan yang sudah beranjak remaja. Tentu khawatir jika terjadi apa-apa.

Namun bagi saya kala itu, bapak cenderung mengekang dan memaksakan kehendak. Bagaimana tidak? Sejak kecil saya sudah dididik secara Jawa yang Njawani sekali. Artinya, menjadi perempuan Jawa di mata bapak itu ya harus lembut, tidak pecicilan. Anggun, berambut panjang dan halus dalam tutur kata. Dalam hal berpakaian pun mesti rok atau gaun. Sungguh bertentangan sekali dengan apa yang saya mau.

Saat SD saya tidak terlalu merasakan tekanan itu. Paling hanya ketika hari raya tiba dan pada saat menghadiri acara keluarga, saya kerap bersitegang dengan bapak. Karena gaun dan gaun terus yang dibelikan. Sedangkan saya inginnya celana panjang dan kaos atau kemeja. Bosan mengenakan gaun dengan rambut di kepang dua atau diurai dengan mengenakan bando.

Barulah ketika SMP saya merasakan perlakuan bapak ini sangat keterlaluan. Bersepeda hanya sebatas ke sekolah atau mengantar adik-adik. Tidak boleh mengikuti kegiatan sekolah yang mengharuskan naik kendaraan alias jauh. Jangankan ikut piknik di sekolah, berenang pun saya tak diijinkan. Pokoknya belajar saja. Tidak usah macam-macam.

Puncaknya saat SMP kelas tiga. Saya harus masuk SMEA karena bapak ingin saya kelak menjadi sekretaris atau kerja di bank. Itu pekerjaan ideal bagi seorang perempuan menurut bapak. Padahal saya ingin masuk STM otomotif atau SMA jurusan bahasa.

Namun apa daya saya. Jika menentang maka tidak boleh sekolah. Selain itu saya juga tidak ingin menjadi anak durhaka. Maka jadilah saya seperti yang bapak mau.


Mencari jati diri

Menjalani sesuatu yang tidak diinginkan tentu tidak enak dan tidak nyaman. Meski begitu saya tetap berusaha menjadi anak yang baik dan bisa membanggakan orang tua. Hal itu saya tunjukkan dengan prestasi di sekolah yang selalu meraih rangking.

Masa-masa seperti itu masa di mana saya lebih banyak membenamkan diri di perpustakaan. Balada Si Roy versi buku menjadi salah satu buku favorit dan harus saya miliki. Meski saya harus dengan sembunyi-sembunyi bekerja sambilan agar bisa memiliki uang lebih untuk membeli buku.

Saya suka membaca tapi bukan dari lingkungan keluarga yang gemar membaca. Membaca majalah atau novel menurut bapak pekerjaan yang sia-sia. Jadi bagaimana mungkin saya meminta uang untuk membeli majalah atau buku? Bisa kena marah nanti.

Sementara saya sudah jatuh hati dengan kisah-kisah si Roy. Perasaan ini rasanya terwakili. Meski tidak melakukannya sendiri tapi seolah-olah saya ikut bertualang pada saat membaca kisah si Roy.

Balada Si Roy menyulut keberanian saya. Puncaknya saat kelas 3 SMEA. Begitu liburan tiba, saya nekad pergi ke Lampung mencari nenek. Saya pergi diam-diam meninggalkan sepucuk surat. Tentu saja setelah sebelumnya minta doa restu ibu. Hanya berbekal uang seadanya dan alamat diselembar kertas yang ibu berikan. Beberapa kisah petualangan si Roy saya praktikkan. Tidur di kantor polisi atau numpang-numpang truk demi menghemat uang. Alhamdulillah petualangan pertama itu berjalan lancar tanpa halangan. Sejak itu saya tahu apa yang membuat saya senang? Meski setelahnya saya dimarahi habis-habisan oleh bapak.


Kembali bersepeda

Lulus sekolah, saya langsung bekerja di salah satu bank swasta di Jakarta. Meski terpaksa tapi tak mengapa asal orang tua bahagia. Untuk menyenang-nyenangkan diri saya minta ijin bersepeda ke kantor. Awalnya ditentang habis-habisan. Tangerang-Jakarta bukan perjalanan ringan.

Saya pikir, hanya dengan cara itu saya merasa bahagia dan bisa menikmati hidup. Selebihnya hidup saya "kelar" di ruangan berukuran sekian kali sekian. Kalau harus naik angkutan umum, tak ada yang bisa saya dapat dan nikmati? Akhirnya setelah melalui perdebatan sengit, saya pun diijinkan mengendarai sepeda. Mungkin saya termasuk pekerja bersepeda yang awal sebelum adanya komunitas bike to work.

Cerita lima sekawan dan Si Roy yang kemana-mana bersepeda kembali memenuhi pikiran saya. Melambungkan hasrat untuk menjelajah tempat-tempat lain. Puncak petualangan saya bersepeda adalah ketika berada di Lampung. Saya jelajahi hutan-hutan di Lampung dengan sepeda yang jaraknya ratusan kilometer. Semua itu saya jalani dengan hati senang.

Ketika krisis moneter melanda, karir saya di bank pun usai. Ini musibah yang sekaligus berkah. Karena saya jadi berhenti bekerja tanpa harus bertengkar dengan orang tua. Saya bersyukur bisa terlepas dari pekerjaan yang tidak saya sukai.

Sejak itu bapak membebaskan saya bekerja di mana pun. Juga sudah mulai mengijinkan saya pergi kemana-mana sendirian. Entah karena kondisi bapak yang sudah menua atau melihat saya bisa mempertanggungjawabkan semua tindakan. Sehingga bapak sudah tidak sekeras dulu.

Kemacetan kota Jakarta yang semrawut membuat saya semakin nyaman bekerja dengan mengendarai sepeda. Tahun-tahun awal mengajar pun masih bersepeda. Tetapi ketika tuntutan jam mengajar privat yang semakin meningkat. Saya pun harus mengendarai motor. Bersepeda hanya pada saat libur akhir pekan.


22 tahun kemudian

Ketika pada 8 Maret 2018 Balada Si Roy memasuki usia 30 tahun dan akan diadakan perayaan di kampung si Roy. Yang terbersit dalam pikiran saya adalah bersepeda ke sana.

Saya utarakan niat ini kepada orang-orang di rumah, mereka bilang ini gila. Jarak dari rumah ke Serang itu bukan main jauhnya. Apalagi di usia saya yang tidak muda lagi. Tapi saya merasa tertantang. Yang utama ingin memberikan kejutan pada si Roy. Karena dia saya berani melepaskan diri dari kungkungan rutinitas yang menjemukan.

Mengingat niat saya ini baik. Wujud terima kasih saya dalam bentuk lain. Maka saya percaya bahwa sang pencipta dan semesta ini akan mendukung. Ternyata benar. Malam sebelum keberangkatan, saya bilang katakan dalam hati. Kalau besok hujan berarti saja tidak diridhoi untuk bersepeda jarak jauh. Jika cuaca cerah berarti semesta mendukung. Maka begitulah. Saya memulai kembali petualangan dengan sepeda setelah 22 tahun vakum.


La Haula wala quata illa Billah

Dengan mengucap bismillah. Yakin bahwa tiada kekuatan selain Allah, Sabtu, 10 Maret 2018 pukul 06.00 WIB saya meluncur meninggalkan rumah. Menuju Kota Tangerang yang jarak tempuh dengan sepeda sekitar 1,5-2 jam. Dinginnya pagi dan hawa sejuk yang menyelusup di kulit membangkitkan semangat perjalanan ini. Sapa khas pesepeda lain yang melintas membuat saya tak merasa sendiri.

Melintasi satu kecamatan dengan kecamatan lain. Memandang keindahan danau Cipondoh pagi hari hingga menunggu lampu hijau diperempatan jalan Cikokol. Akhirnya saya memasuki kota Tangerang.

Mengambil jalan pintas di daerah tanah gocap lalu membelok ke arah Karawaci, perjalanan saya pun akhirnya sampai di jalan utama menuju kota Serang. Dari sini tinggal lurus saja mengikuti jalan. Dan tak terasa sampai di daerah Cikupa.

Di sini saya sempat mengabadikan moment. Karena di daerah ini orang menyebut Singapore-nya Tangerang. Yah, di dalam Citra Raya ini kita seolah-olah berada di kota lain. Bukan di wilayah Tangerang yang identik dengan pabrik.


Mengabadikan moment


Seusai mengabadikan moment di sini. Perjalanan saya lanjutkan. Lurus saja mengikuti jalanan. Tigaraksa, Balaraja daerah-daerah yang saya lintasi berikutnya. Jika merasa haus saya berhenti sejenak. Karena sudah menyetok makanan dan minuman, jadi saya tidak perlu  mencari warung untuk membeli makanan. Berhenti saja di mana saya mau.


Salah satu jalur yang siap disusuri


Memasuki Kabupaten Serang barulah saya mencari warung untuk minum. Karena persediaan minuman sudah habis. Itu pun saya mencari warung yang asri. Agar suasana istirahatnya nyaman. Apalagi saya tidak suka bau asap rokok. Jadi memang mencari tempat istirahat yang benar-benar steril. Agak sulit memang. Saya yakin saja pasti ada.



Tempat istirahat yang teduh dan asri


Hari sudah semakin siang. Cuaca hari itu sangat terik. Saya harus terus mengayuh agar tiba ditujuan tidak terlalu malam. Karena perkiraan saya lepas magriblah baru sampai. Ternyata pukul 15.00 WIB saya sudah tiba dibatas Kota Serang. Wah, termasuk cepat juga pikir saya. 


 
Batas Kota


Hal pertama yang saya lakukan adalah mengabadikan moment. Ya, langsung saja saya jepret sana, jepret sini. Ini prestasi tersendiri bisa sampai di sini. Lalu saya segera mencari masjid terdekat untuk salat dan membersihkan diri. Agar pada saat tiba ditujuan bisa langsung berbaur dengan sahabat Balada Si Roy yang sudah lebih dulu hadir.

Sujud syukur tak putus saya panjatkan kepada Allah SWT. Atas ridho-Nya, atas penjagaan-Nya, saya tiba ditujuan tanpa ada halangan sedikit pun. Tanpa rasa lelah yang mengggayut. Semua biasa saja. Paling kulit wajah dan tangan yang terasa kusam dan sepertinya gosong. Lha, bagaimana tidak? Tertimpa teriknya mentari, disapu asap truk dan kendaraan lain, juga debu-debu jalanan yang tertiup angin.

Namun semua itu tak berarti apa-apa buat saya. Tak membuat saya merasa minder karena tak terlihat cantik di acara yang akan saya hadiri ini. Bagi saya kecantikan itu adanya di dalam hati. Ia akan memancar dengan sendirinya. Sedangkan kecantikan jasmani hanya semu. Jadi saya tak khawatir meski wajah ini terlihat gosong. Toh, saya bukan pekerja seni yang mengeksplor kecantikan jasmani.


Mengabadikan moment di batas kota

Roy! I am coming

Setelah salat, istirahat dan bersih-bersih badan. Saya kembali melanjutkan perjalanan. Kampung si Roy sudah di depan mata. Tinggal beberapa kelok dan kayuhan sepeda saja maka saya akan sampai.

Tepat pukul 17.30 WIB akhirnya saya sampai dipelataran Rumah Dunia. Bukan main girangnya rasa hati ini. Yeaaaahhh... akhirnya. Aku datang, Roy!

Berhubung sedang ada acara di dalam auditorium Rumah Dunia, maka suasana di luar sepi. Ingin masuk ke dalam tanggung. Sebentar lagi acara usai.

Menurut jadwal yang ditetapkan, acara ini memang sudah sejak pagi dimulai. Awalnya saya ingin mengambil libur hari Jumat, sehingga bisa mengikuti acara sejak awal. Berhubung acara baru selesai hari Minggu sore, tentu saya bakal malam di jalan kalau langsung pulang. Tentu harus hari Senin pagi pulangnya. Itu artinya saya libur 2 hari. Tak enak rasanya.

Maka saya putuskan hari Sabtu pagi berangkat. Tak apa terlambat mengikuti satu acara. Jadi Senin pagi bisa pulang dengan tenang.

Tiba di tujuan


The Real Roy

Senja sudah bergelayut. Waktu magrib akan segera tiba. Acara di dalam auditorium Rumah Dunia pun usai. Semua orang berbondong-bondong keluar dari dalam gedung termasuk si Roy. The real Roy, Gol A Gong

Ini kali ketiga saya bertemu  Gol A Gong. Penulis yang karyanya sangat inspiratif. Yah, saya kagum dengan karya-karyanya. Kok bisa sih membuat karya yang melegenda seperti itu? Belum lagi novel-novel lain karya beliau.

Tentu saja pertemuan ini sesuatu yang istimewa bagi saya. Entah bagi si Roy... hihihii. Foto bersama dan meminta tanda tangannya di sepeda merupakan agenda yang tak boleh dilewatkan. Yeaaaahhh... akhirnya bertemu si Roy.



Bersama Gol A Gong sang penulis Balada Si Roy


Gol A Gong membubuhkan tanda tangannya


Mengabadikan moment

Begitu tiba di Rumah Dunia, hal pertama yang saya lakukan adalah mengabadikan moment. Dalam hidup saya, ini peristiwa bersejarah. Jadi perlu dicatat dan diabadikan untuk kenangan pribadi. Salah satu orang yang saya todong untuk membubuhkan tanda tangannya di sepeda  adalah Firman Venayaksa. Ini bukan kali pertama saya berjumpa dengan beliau. Tapi dalam kondisi saya bersepeda ya baru ini. Jadi ya harus diabadikan. Apalagi beliau juga orang yang sibuk dan penting. Sulit menemui orang-orang seperti beliau


Bersama Firman Venayaksa



Firman Venayaksa membubuhkan tanda tangannya


Berjumpa sahabat Balada Si Roy

Pintu ruang auditorium terbuka. Satu per satu sahabat Balada Si Roy keluar. Kami pun saling bertegur sapa dengan hangat. Saling menanyakan kabar masing-masing meski kami tak saling mengenal sebelumnya. Hanya sesekali bertegur sapa melalui media sosial. Ada satu-dua sahabat balada si Roy yang sebelumnya kami pernah berjumpa. Hari itu menjadi ajang temu kangen. Ah, betapa indah ketika "kata" mampu menyatukan kita.

Sabtu malam dan Minggu pagi saya lewatkan waktu bersama sahabat balada si Roy dengan menikmati acara yang telah disusun. Berdiskusi dan saling bertukar cerita terutama mengenai awal-awal mengenal si Roy. Serta pengaruhnya dalam kehidupan kami selanjutnya. Serta harapan kami tentang rencana Balada si Roy yang akan difilmkan. Kami semua sepakat bahwa Balada Si Roy buku yang sangat menginspirasi. Mampu membentuk karakter seseorang. Tentu saja dengan mengambil sisi positif dari buku ini. Semoga saja harapan terse akan terwujud. Balada Si Roy on Cinema.

Bersama Sahabat Balada Si Roy


Dalam kesempatan itu saya juga mengenal beberapa adik-adik dari kelas menulis Rumah Dunia. Satu diantaranya sama seperti saya, kemana-mana senang bersepeda. Sore itu ketika acara telah usai, saya diajaknya keliling kampung. Singgah di rumahnya. Kemudian melihat lebih jauh perkampungan di sana. Wah, pengalaman yang tak terlupakan. Saya sangat senang melakukan hal itu. Terima kasih untuk kamu yang telah berbaik hati mengajak saya berkeliling kampung.


Menyempatkan keliling kampung


Go home

Tak terasa waktu terus bergulir. Senin pagi saatnya saya kembali pulang. Pulang ke Tangerang yang jaraknya puluhan kilometer dari Serang. Dalam perjalanan pulang, saya sempatkan singgah di rumah kakak sepupu yang tinggalnya di kampung Cirogol, Walantaka. Daerah yang saya lalui saat datang dan kembali ini. Meski sejenak tak jadi soal. Yang penting sudah singgah dan bertatap muka.

Silaturrahmi ke rumah sepupu sebelum berangkat lagi menuju Jakarta


Usai bersilaturrohim sebentar, kembali saya melanjutkan perjalanan. Mengingat perjalanan masih panjang dan sangat jauh. Apakah tidak terlintas untuk menaikkan sepeda ini ke atas truk yang satu arah agar perjalanan pulang lebih cepat? Oh, tidak sama sekali. Bagi saya perjalanan ini sekaligus uji nyali dan uji fisik. Setelah sekian lama tidak bersepeda jarak jauh.

Selain itu sebagai rangkaian dari pencapaian pribadi dalam hal bersepeda. Bukankah dalam berbagai hal yang kita lakukan harus ada pencapaian? Paling tidak sebagai catatan sejarah diri sendiri. Lebih bagus lagi kalau bisa menginspirasi orang lain.

Maka begitulah. Saya kayuh sepeda ini mengikuti jalur menuju Tangerang. Tiba-tiba tanpa ada tanda-tanda, hujan turun dengan deras. Saya sempat panik. Bukan takut dengan hujan yang turun tiba-tiba ini. Namun belum masuk waktu salat zuhur. Akan repot jika saya lanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan seperti ini. Akhirnya saya mencari masjid terdekat. Di sana saya berteduh sambil menunggu datangnya waktu salat zuhur.

Begitu waktu salat zuhur tiba, saya segera tunaikan kewajiban ini dengan penuh khidmat. Sekaligus tanda kesyukuran saya atas nikmat dan karunia yang telah Allah berikan sampai detik ini. Usai salat zuhur hujan belum reda juga. Saya pikir jika terus menunggu sampai hujan reda, akan malam saya tiba ditujuan. Saya tidak ingin seperti itu. Karena esok hari saya harus beraktivitas seperti biasa. Maka dengan mengucap bismillah saya lanjutkan perjalanan dalam kondisi hujan.

Berat? Jujur saja tidak. Namun menahan emosi jiwa ini yang sungguh berat. Bagaimana tidak? Sebentar-sebentar saya harus memaki pengendara motor, mobil angkutan atau kendaraan pribadi yang seenaknya saja melintasi saya. Tanpa memikirkan genangan air yang dilaluinya akan menciprati saya.

Justru pengemudi truk yang lebih toleran. Jika melihat ada genangan, saya dipersilakan lewat terlebih dulu. Maka begitulah, selain diguyur hujan. Saya juga diguyur air kubangan jalanan. Ah, entah sudah seperti apa wajah dan tubuh ini. Yang pasti jauh dari cantik... Hehehe

Saya jadi teringat petualangan 22 tahun dibelantara hutan karet, Lampung. Seperti ini pula kondisinya. Hujan deras tapi di tengah hutan. Lebih berat toh, karena kalau ada apa-apa tak ada yang bisa dimintai tolong. Jadi perjalanan Serang-Tangerang ini saya anggap lebih ringan. 

Akibat hujan, penutup hidung dan kaca mata tak ada fungsinya. Jadi saya lepas saja. Membiarkan wajah dan mata ini diguyur hujan. Nikmati semua dengan riang sebagai bagian dari perjalanan hidup.

Kayuh, kayuh dan terus mengayuh yang bisa saya lakukan dalam kondisi seperti itu. Sesekali saja saya berhenti untuk minum dan memakan cemilan. Karena untuk berhenti di tempat makan pun tak mungkin. Boro-boro mau swafoto. Perjalanan pulang ini benar-benar tak ada foto-fotoan. Untungnya saya selalu sedia makanan di tas. Cukuplah sebagai penambah energi dan tak harus repot mencari makanan.

Memasuki daerah Cikupa hujan mulai reda. Saya terus melaju dan semakin ke depan hujan benar-benar berhenti. Bahkan kondisi sesudah daerah Cikupa itu panas terik. Wah, jadilah saya tontonan orang karena pakaian saya basah kuyup. Saya tak juga menghentikan laju sepeda. Biarlah pakaian ini kering di badan. Memang benar. Setelah itu pakaian saya benar-benar kering.

Memasuki wilayah Kota Tangerang waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Saya pun segera mencari masjid untuk kembali menunaikan kewajiban kepada-Nya. Perasaan ini terasa lega sekali. Karena sudah memasuki wilayah Kota Tangerang. Apalagi seusai menunaikan salat asar. Ah, betapa Allah itu maha segala-galanya. Tanpa-Nya tak mungkin saya bisa seperti ini.

Dengan perasaan lega dan hati riang, kembali saya kayuh "SiMas" nama sepeda mini ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.00 WIB. Jalanan dipadati kendaraan orang-orang yang pulang bekerja. Disebagian titik terjadi kemacetan. Di sini saya kembali harus menahan emosi. Karena beberapa pengendara tak memberi ruang bagi sepeda saya. Bahkan ada yang dengan sengaja menutup akses jalan saya. Jika seperti ini dengan terpaksa saya harus berteriak.

"Woi! Jangan terlalu minggir dong jalannya! Saya lewat mana ini? Trotoar untuk pejalan kaki tauk. Jadi sabar dikit dong merayap di belakang."

Begitu pun ketika ada sebuah mobil yang lajunya terlalu dipinggir. Tak segan saya gebrak mobilnya agar si pengemudi sadar.

"Om! Geser ke kanan sedikit. Beri jalan untuk saya dan pengendara lain. Trotoar untuk pejalan kaki soalnya."

Meski sambil menggerutu si pengemudi akhirnya agak bergeser dan ada ruang untuk perjalanan saya. Jalanan itu memang keras. Meski sebagai kaum minoritas, tapi sesekali perlu juga berteriak. Menyuarakan kebenaran.

Kumandang adzan magrib terdengar sayup-sayup. Saya sudah tiba di ujung jalan menuju rumah. Sebelum tiba di rumah, saya singgah sejenak ke toko kosmetik untuk membeli masker. Walau bagaimana saya harus memberikan penghargaan kepada wajah ini yang sudah saya ajak hujan-hujanan, panas-panasan dan berdebu-debu.

Selain itu saya juga mampir ke toko jamu. Meski zaman sudah modern tapi saya tetap rajin minum jamu. Terutama sehabis berpayah-payah seperti ini. Alhamdulillah pukul 18.30 WIB saya tiba di rumah. Dengan mengucap syukur yang tiada putus, akhirnya saya mampu menuntaskan perjalanan ini tanpa halangan sedikit pun. Bahkan "SiMas" pun sejak keberangkatan dan kembali tidak mengalami bocor ban sedikit pun. Alhamdulillah.

Roy! Terima kasih spiritnya. Karenamu saya mampu menorehkan catatan sejarah dalam hidup ini. Sebagai cerita turun-temurun untuk anak cucu kelak. Perjalanan ini juga semakin menebalkan keimanan saya kepada-Nya. Tanpa-Nya saya tak mampu apa-apa. Tanpa-Nya saya bukanlah siapa-siapa. Terima kasih ya Allah.


Larindah, Maret 2018



#30thnBaladaSiRoy
#filmbaladasiroy
#roymoment
#DIP



Komentar

  1. Balasan
    1. Alhamdulillah Mba. Masih diberi kekuatan oleh-Nya. Sehingga bisa melakukan sesuatu yang mungkin menginspirasi.

      Hapus
  2. Alhamdulillah sungguh menginspiratif mbak denik 😄

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Selagi mampu. Karena akan ada saatnya kita berdiam diri di rumah. Mendengar anak cucu bercerita.

      Hapus
  3. Balasan
    1. Terima kasih Mba. Dan semua ini berkat kuasa-Nya.

      Hapus
  4. Waaah, mantaps banget ini sepedaannya, kerennn....
    Dulu saya juga suka membaca Balada Si Roy.

    BalasHapus
  5. Waaah, mantaps banget ini sepedaannya, kerennn....
    Dulu saya juga suka membaca Balada Si Roy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berkunjung. Berarti kita sama-sama sahabat Balada Si Roy nih.

      Hapus
  6. Ma sya Allah semangat dan staminanya, Mba... Wah, baru tahu kalau kesukaan Mba Denik ini berawal dari buku.

    BalasHapus
  7. Aku terakhir nyepeda jarak jauh tuh nganjuk kras kediri tahun 1998. Wuiihh.. 20 tahun ya. Sejak 2010 malah sesekali doang nyepeda. Jadi kangen nyepeda lagi. Mbak Denik emang kereen

    BalasHapus
  8. Huaaa Mbak Denik keren deh. saya aja belum nyampe-nyampe lho ke Rumah Dunia ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe...kpn diagendakan Mba. Blogger Muslimah kunjungan ke RD juga bisa nih.

      Hapus
  9. Inspiratif kisahnya mbak Denik. Saya belajar sepedaan dulu waktu masih TK. Sering jatuh saat belajar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keren itu TK sudaj belajar. Aku baru SD mba.

      Hapus
  10. Ya Allah mba Deniiik... Ternyata ya kisah sebuah buku benar-benar bisa memengaruhi pembacanya. Bersepeda itu menyehatkan sih bukan cuma buat diri pribadi tapi buat org lain juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. TetimT kasih Mba. Iya, betul. Bersepeda itu selain menyehatkan juga menyenangkan.

      Hapus
  11. Kapan-kapan ke Serang mampir juga ah ke Rumah Dunia..tapi kalau naik sepeda seperti Mbak Denik nyerah saya. Terakhir rutin naik sepeda jaman SMA soalnya ..hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayuk Mba. Harus tahu Rumah Dunia. Sangat menginspirasi loh.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misteri Pohon Besar di Kalibata City Apartement

Saat saya sedang berjalan-jalan di Kalibata City Apartment, Jakarta Selatan. Pandangan saya tertarik pada sebuah pohon besar di samping belakang apartement. Ukuran pohonnya memang besar sekali. Pikir saya. ”Kenapa tidak ditebang? Bisa bahaya kalau roboh.”  Dokumen pribadi Saya pun iseng menanyakan hal tersebut kepada kawan yang sudah lama tinggal di sana. Jawabannya sungguh membuat merinding bulu kuduk.  “Gak ada yang bisa menebang pohon tersebut. Karena banyak penunggunya. Setiap malam ada saja yang melihat penampakan-penampakan dibawah pohon itu.”  Hiiii...Seram juga ya, pikir saya. “Makanya ada semacam meja kecil diatas pohon itu. Untuk tempat sesajen. Biar penunggunya gak mengganggu orang-orang di sini,” papar kawan saya. Diam-diam ada rasa penasaran dalam hati saya. Seperti apa sih pohon itu jika dilihat dari dekat?  Maka saya pun mendekati pohon tersebut. Memang besar sekali. Terlihat dari batangnya yang besar dan tinggi. Nama pohonnya ternyata pohon mahoni. Usianya lebih

Alhamdulillah Bisa Kentut

Uuupppss!!! Ini bukan bicara jorok atau kotor. Tapi hanya untuk mengingatkan. Bahwa maaf, kentut itu termasuk anugerah terindah yang patut disyukuri. Loh! Kok? Eits, jangan bengong begitu ah. Coba saja rasakan ketika kita beberapa hari ternyata enggak bisa kentut. Rasanya ini perut kembung dan enggak enak. Tapi begitu bisa kentut. Rasanya legaaaa...sekali. Bisa terbayang toh bagaimana mereka yang tidak bisa kentut atau BAB (Buang air besar) akhirnya harus ke rumah sakit untuk diambil tindakan. Maka bersyukurlah kita yang bisa kentut setiap saat. Selama ini kita mengucapkan syukur itu jika berhubungan dengan rezeki dan sesuatu yang menyenangkan.  "Alhamdulillah dagangan hari ini ludes."  Atau  "Alhamdulillah si kakak juara kelas." Sangat jarang jika mengeluarkan kentut langsung mengucap Alhamdulillah. Padahal kentut salah satu nikmat yang luar biasa.  Jadi mulai sekarang biasakan mengucap syukurnya bukan saja ketika berhubungan dengan rezeki dan gengsi.

Gaya Rambut Muslimah yang Dianjurkan

Gaya rambut seseorang biasanya mengikuti karakter diri orang tersebut. Jika ia seorang yang aktif dan energik. Maka gaya rambut yang dipilih biasanya model Demi Moore. Itu loh si cantik di film Ghost. Gaya rambut ala Demi Moore Image foto by Lifestyle Okezone Gaya rambut ala Demi Moore sempat nge-hits di jamannya. Atau gaya rambut ala Putri Diana. Mendiang istri Pangeran Charles dari Inggris ini tetap cantik dan anggun meski berambut pendek. Gaya rambut ala Putri Diana Image foto by pinteres Bagi orang yang memiliki rambut panjang disebut sebagai orang yang sabar. Karena memiliki rambut panjang memang butuh kesabaran. Terutama dalam hal perawatan. Image foto by tagged.com Sementara orang yang menyukai gaya rambut pendek disebut sebagai orang yang tidak sabaran. Ingin serba cepat dalam bertindak. Tentu orang yang seperti ini tidak akan sabar kalau harus merawat rambut. Itu semua pendapat yang saya yakini ketika belum berhijab. Setelah berhijab dan mengetahui