Adat istiadat atau budaya suatu daerah seyogyanya memang harus terus dilestarikan. Sebagai salah satu kekayaan dan keragaman yang dimiliki oleh sebuah bangsa.
Tetapi ketika salah satu adat kebiasaan yang dilakukan oleh sebuah daerah mulai menimbulkan ketidak nyamanan bagi orang-orang yang ada disekitarnya. Apakah hal itu masih perlu dipertahankan?
Salah satu contoh kecil adalah adat kebiasaan yang terjadi di dalam masyarakat Betawi. Ketika mereka mengadakan sebuah hajatan, baik itu pesta pernikahan atau sunatan. Bunyi petasan yang menggelegar menjadi bagian tak terpisahkan dari acara tersebut.
Bisa dikatakan sebagai ciri khas masyarakat Betawi jika ada hajatan. Dan menjadi keseruan tersendiri bagi si pemilik hajatan dan juga para tamu undangan. Tetapi apakah tidak dipikirkan bagaimana perasaan orang-orang yang ada di sekitarnya? Apakah mereka semua menyukai pertunjukan singkat itu?
Dan apakah hal ini (memasang petasan) masih perlu dilakukan? Mengingat kondisi lingkungan sekarang ini berbeda dengan lingkungan masyarakat jaman dulu. Rumah-rumah penduduk saat ini sudah berhimpitan. Ada orang-orang tua dan jompo yang mungkin tinggal di sana. Ada bayi yang sedang nyenyaknya tertidur.
Dan mungkin ada orang yang jantungnya lemah. Sehingga merasa gemetaran akibat kaget mendengar suara petasan yang menggelegar seperti bom itu. Hal ini perlu dijadikan pertimbangan, tanpa bermaksud menghapus begitu saja adat kebiasaan yang sudah mendarah daging.
Jika menelusuri cerita dan sejarah petasan bisa menjadi bagian dari adat istiadat hajatannya orang Betawi. Maka kita kembali ke masa lampau. Di mana lingkungan tempat tinggal masyarakat tidak sepadat seperti sekarang ini.
Dahulu jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain masih berjauhan. Terkadang dipisahkan oleh sebuah kebun yang cukup luas. Sehingga jika salah satu dari mereka ingin mengadakan hajatan, cukup sulit untuk saling memberi kabarnya.
Apalagi zaman dahulu belum mengenal kartu undangan atau alat komunikasi secanggih sekarang. Maka digunakanlah petasan sebagai pertanda, bahwa orang yang memasang petasan itu sedang mengadakan hajatan.
Hal ini terinspirasi dari apa yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa pada masa itu. Ketika orang-orang Tionghoa itu merasa kesepian atau rindu dengan sanak-saudaranya, mereka menyalakan petasan sebagai penghibur diri. Sejak itu masyarakat Betawi identik dengan suara petasan jika mengadakan hajatan.
Seiring berjalannya waktu, kondisi jaman dahulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Jika hal itu masih dipertahankan, apakah masih relevan dengan kondisi saat ini? Hal Ini bisa dijadikan perenungan bersama. Agar tidak saling menjelekkan di antara warga masyarakat yang beragam suku ini. Akibat adanya ketidaknyamanan dari suara petasan tersebut.
#onedayonepost
#januari2017
#harike-15
#sisilainbudayanegeri
#renungan
#januari2017
#harike-15
#sisilainbudayanegeri
#renungan
Setuju, petasan harus dipertimbangkan lagi maslahatnya untuk banyak orang.
BalasHapusMungkin bisa dicari jalan tengahnya agar kebudayaan yang ada juga tidak hilang.
Iya Mba Na. Itulah...
BalasHapusMenarik, sebagai orang betawi pinggiran yg mana lingkungan masih mengamalkan demikian saya teramat aware mengenai petasan ini. Budaya ini memang semestinya kembali dipertimbangkan, tetapi atau boleh lah, setidaknya petasan yg dipasang tidak terlalu besar. Cukup sewajarnya. Demikian dari seorg betawi parung.😇
BalasHapusHallooo.. Irman Rahman! Wah, terima kasih sudah mampir ya Bang.Jadi bisa berdiskusi langsung dengan orang Betawi Nye langsung. Iya, saya sependapat tentang sewajarnya saja dalam pemasangan petasan itu. Sehingga konteks budayanya tetap tidak hilang tetapi kenyamanan lingkungan juga tetap terjaga.
HapusAku suka takuuut dengan bunyi petasan pas hajatan... Hiks.. Hiks
BalasHapusPodo Mba. Aku suka kaget. Bikin jengkel.
Hapus