Dalam untaian doa yang selalu kita panjatkan pasti salah satunya adalah minta diberikan kesehatan. Iya, kan. Iya? Tapi yang namanya perjalanan hidup, pasti ada saja hal-hal yang akhirnya membuat kita terluka bahkan jatuh sakit. Entah itu karena kecerobohan kita atau kelalaian orang lain lalu kita yang terkena imbasnya.
Contoh mudahnya, kita sudah hati-hati saat mengendarai sepeda motor. Sudah berjalan dipinggir, tidak ngebut dan mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Eh, pengendara lain dengan seenaknya ngebut lalu menyenggol motor kita. Dia kabur dan membiarkan kita terjerembab dijalan tanpa memperdulikan teriakan serta makian sekitar.
Orang-orang lantas berkerumun menghampiri kita. Bersimpati melalui tutur bahasa penuh empati.
“Mau diantar ke rumah sakit!”
Atau
“Cepat diurut nanti biar gak Kasep. Itu sakit pastinya. Kurang ajar tuh orang. Naik motor seenaknya. Nyrempet orang malah kabur.”
Apapun simpati yang diberikan atau pertolongan yang didapat. Pada akhirnya kita sendiri yang merasakan luka dan kesakitan itu. Baik luka kecil maupun luka besar. Dan hal ini sedikit banyak, suka atau tidak, sadar atau tidak akan menngganggu aktifitas kita.
Luka kecil yang dialami mungkin hanya sebatas memar dibeberapa bagian tubuh. Atau keseleo pada bagian tertentu. Tapi efeknya bisa menurunkan kadar keimanan kita, terutama kita yang muslim. Kok bisa? Ya, bisa.
Bayangkan saja, seorang muslim itu kan mempunyai kewajiban sholat lima waktu. Setiap masuk waktu sholat kita diwajibkan meninggalkan urusan dunia untuk sejenak sujud berserah kepada Sang Pencipta. Dalam keadaan sehat, jujur saja, malas-malasan toh! Biasanya ntar dulu, dikit lagi, tanggung nih. Begitu dalih yang terlontar. Sangat sedikit yang segera bergegas begitu mendengar suara azan berkumandang (Semoga bukan Anda).
Nah, dalam kondisi kurang sehat dengan contoh kecil kecelakaan tadi. Sudah terbayangkan dalih lain yang terlontar. Susah jalanlah, sakit semualah badannya, atau gak boleh kena air lah serta masih banyak lagi dalih lain.
Lalu bagaimana agar keimanan kita tidak turun bahkan luntur hanya karena sebuah luka atau sakit yang diderita? Mudah saja. Cukup dengan mengingat penderitaan Ayub. Hey! Who is He?
Dia adalah salah satu nabi Allah. Nabi Ayub AS. Dalam hidupnya dia tergolong hamba Allah yang bertaqwa dan selalu bersyukur serta banyak bersedekah dalam kondisi apapun. Ketika dalam keadaan kaya raya iblis sampai iri terhadapnya. Sehingga iblis pun menyebarkan virus-virus yang membuat Nabi Ayub menderita penyakit menular disekujur tubuhnya.
Istri dan anaknya pergi meninggalkan dia. Orang-orang disekitar menjauhi dirinya. Takut tertulari. Tinggallah dia (Nabi Ayub) hidup sendiri dalam luka dan kesakitan akibat penyakit yang dideritanya. Lalu apa yang dia lakukan. Bunuh dirikah?
Jangankan terlintas membunuh diri. Mengeluh sedikitpun tidak. Nabi Ayub tetap menjadi seorang hamba yang bertaqwa dan penuh kesyukuran. Penyakit yang diderita tak menurunkan apalagi melunturkan kadar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Nah, kita yang bukan siapa-siapa masa mengeluh. Lantas dengan entengnya meninggallkan kewajiban kita pada yang kuasa dengan dalih sakit. Penyakit yang diderita manusia sih tak ada yang menandingi penyakitnya Nabi Ayub AS. Apalagi dengan contoh sakit di atas. Itu sih sepele.
Jadi ayo jaga keimanan dan ketaqwaan kita dalam kondisi apapun. Kala sehat maupun sakit. Saat senang ataupun susah. Kisah para nabi itu menjadi suri tauladan bagi kita semua. Bahwa tak ada alasan apapun dalam urusan ibadah kepada Allah SWT.
Kalau masih berdalih, “Dia kan nabi, wajar kali begitu.” Nah, tinggal kita balik saja.
“Dia aja nabi begitu. Kita ini siapa kok bisa enteng banget nyepelein Allah. Di usir dari bumi Allah baru rasa. Mau lari kemana coba?”
#onedayonepost
#desember2016
#harike-28
#introspeksidiri
Sumber gambar ; Goegle
#desember2016
#harike-28
#introspeksidiri
Sumber gambar ; Goegle
Komentar
Posting Komentar