Setiap tanggal 30 Maret insan perfilman Indonesia merayakan Hari Film Nasional. Hari di mana 70 tahun silam, tepatnya tanggal 30 Maret 1950, Indonesia bisa memproduksi dan menyutradarai film sendiri.
Dokpri
Melalui film Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) yang disutradarai oleh Ismar Ismail dan dibintangi oleh Farida serta Suzzanna. Indonesia berhasil menjadi tuan di negerinya sendiri. Inilah tonggak kebangkitan vfilm nasional.
Sebagai penikmat film, tentu saya memiliki harapan terhadap perkembangan film di Indonesia. Agar pada saat kita menonton film itu ada sesuatu yang didapat. Direnungkan. Tidak hanya menghela napas lega saja karena jagoan kita menang. Atau kisah si tokoh dalam film yang kita tonton berakhir dengan happy.
Lalu apa saja harapan saya tersebut?
1 . Hendaknya film anak-anak lebih banyak lagi diproduksi. Tentu saja film anak-anak yang bermutu. Jangan hanya memiliki unsur menghibur semata. Agar anak-anak tidak melulu dicekoki dengan film luar yang cenderung tak masuk akal. Hanya fantasi belaka. Film Petualangan Sherina, Garuda Di Dadaku dan Laskar Pelangi bisa menjadi ajuan film anak-anak yang bagus dan menarik.
2 . Hendaknya tema film yang diangkat dari sebuah novel atau karya sastra lebih diperbanyak juga. Seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka dan film Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dengan tema film semacam ini penonton tidak hanya mendapatkan hiburan tapi juga mendapatkan pengetahuan dan wawasan.
3 . Hendaknya tema film yang mengangkat rasa nasionalisme juga diperbanyak. Seperti film Susi Susanti-Love All atau film 3 SRIKANDI yang mengangkat perjuangan para atlet panahan Indonesia saat berjuang di ajang olimpiade.
Dengan demikian kita sebagai orang tua tidak was-was mengajak atau melepas anak untuk nonton di bioskop. Karena sudah tahu kualitas film yang akan ditonton.
Apakah ini artinya film Indonesia tidak bermutu? Oh, tidak. Film Indonesia saat ini sudah sangat bagus. Sudah bisa menjadi tuan di negerinya sendiri. Hanya saja tema untuk anak-anak yang masih minim. Lebih banyak tema remaja dengan gaya pergaulannya.
Memang tetap ada pesan moral yang disampaikan. Seperti dalam film Garis Biru. Segmennya remaja. Anak-anak belum masuk kategori film seperti ini. Namun karena film anak-anak tidak ada, bisa jadi dengan diam-diam mereka menonton film ini juga.
Ini harapan sebagai orang tua dan penikmat film. Meski belum tentu terealisasi. Setidaknya dengan menuangkan pendapat semacam ini bisa didengar oleh mereka yang kompeten di bidangnya. Semoga.(EP)
Foto by solopos.com
2 . Hendaknya tema film yang diangkat dari sebuah novel atau karya sastra lebih diperbanyak juga. Seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka dan film Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Dengan tema film semacam ini penonton tidak hanya mendapatkan hiburan tapi juga mendapatkan pengetahuan dan wawasan.
3 . Hendaknya tema film yang mengangkat rasa nasionalisme juga diperbanyak. Seperti film Susi Susanti-Love All atau film 3 SRIKANDI yang mengangkat perjuangan para atlet panahan Indonesia saat berjuang di ajang olimpiade.
Dengan demikian kita sebagai orang tua tidak was-was mengajak atau melepas anak untuk nonton di bioskop. Karena sudah tahu kualitas film yang akan ditonton.
Apakah ini artinya film Indonesia tidak bermutu? Oh, tidak. Film Indonesia saat ini sudah sangat bagus. Sudah bisa menjadi tuan di negerinya sendiri. Hanya saja tema untuk anak-anak yang masih minim. Lebih banyak tema remaja dengan gaya pergaulannya.
Memang tetap ada pesan moral yang disampaikan. Seperti dalam film Garis Biru. Segmennya remaja. Anak-anak belum masuk kategori film seperti ini. Namun karena film anak-anak tidak ada, bisa jadi dengan diam-diam mereka menonton film ini juga.
Ini harapan sebagai orang tua dan penikmat film. Meski belum tentu terealisasi. Setidaknya dengan menuangkan pendapat semacam ini bisa didengar oleh mereka yang kompeten di bidangnya. Semoga.(EP)
#odopday30
#onedayonepost
#harifilmnasional
#estrilookcommunity
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus