Buku adalah jendela dunia. Melalui buku banyak hal yang bisa kita lihat dan pelajari. Tentang kehidupan, keluarga dan juga cinta. Saya suka membaca. Dan tidak terpaku pada satu jenis buku. Semua jenis buku saya suka. Sastra, novel, komik, psikologi, sejarah, dan lain sebagainya. Tetapi hanya beberapa jenis buku yang saya koleksi secara khusus. Dan ada satu buku yang memberi kesan mendalam dalam hati saya. Yaitu buku karya Hamka. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Dengan latar keindahan alam dan budaya Minangkabau, tenggelamnya kapal van der wijck berkisah tentang kisah cinta antara seorang pemuda berdarah Minang bernama Zainuddin dan seorang gadis asli Minang bernama Hayati. Kisah cinta mereka yang tulus dari hati terbentur adat yang kuat. Ditambah ego pribadi yang mampu menekan kata hati. Sehingga cinta yang seharusnya bisa bersatu itu, berakhir dengan tragis. Maut adalah bagian dari takdir, yang tak bisa disesali lewat tangisan. Di sinilah cerita cinta mereka mampu mengaduk-aduk perasaan pembaca.
Cerita diawali dari perjalanan Zainuddin menuju Padang Panjang, tanah kelahiran sang ayah. Zainuddin adalah seorang yatim piatu. Ayahnya yang asli Padang Panjang terbuang dari kampung halamannya, sebab ia terlahir sebagai laki-laki. Yang dalam adat Minangkabau tak memiliki kuasa dan hak dalam menjaga serta mengurus harta warisan. Pihak perempuanlah yang berkuasa. Ketika pihak mamak memiliki hati dengki, segala cara dilakukan untuk menjauhkan si pemilik sah harta. Maka sebab fitnah terdamparlah ayah Zainuddin di Mengkasar. Lalu menikah dengan gadis sana dan dikarunia anak bernama Zainuddin.
Zainuddin menjadi yatim piatu di usia kanak-kanak. Mak Base, pengasuhnya sejak kecil yang akhirnya diserahi kepercayaan untuk merawat dan membesarkan Zainuddin. Begitu besar dan cukup umur, Zainuddin ingin menimba ilmu agama di Padang Panjang. Dan Mak Base pun merelakannya, karena di sana tanah kelahiran ayah Zainuddin. Ia biarkan Zainuddin menempuh perjalanan jauh untuk menuntut ilmu dan mencari keluarganya. Namun karena hati keluarganya yang memang dengki, maka sambutan terhadap kehadiran Zainuddin ya hanya manis di muka. Dan Zainuddin merasakan hal itu.
Ia sudah hendak pergi dari kampungnya. Tetapi panah cinta menghalangi langkahnya. Di kampung Batipuh, masih di wilayah Padang Panjang ia jatuh hati terhadap seorang gadis bernama Hayati. Dan gayung bersambut. Hayati menerima cinta Zainuddin. Lewat surat menyurat mereka merajut cinta dan asa.
Gunung, sawah dan surau menjadi saksi bisu kesederhanaan cinta mereka. Tetapi masalah datang sebagai ujian bagi cinta mereka. Saat menginap di rumah sahabatnya, Khadijah, si abang Khadijah, Aziz namanya, jatuh hati melihat kecantikan Hayati. Meski pun Hayati menolak sebab hatinya telah tertambat pada Zainuddin, tetapi apalah dayanya. Saat orang tua Aziz langsung datang meminang dan disambut suka cita oleh keluarga Hayati, di situlah derita cinta mulai melanda.
Hayati terpaksa menikah dengan Aziz. Harta dan kedudukan lebih dipilih oleh keluarga Hayati. Dibandingkan keluhuran budi dan akhlak Zainuddin yang miskin tak berharta. Hayati menjalani pernikahan dalam tekanan tanpa bisa berbuat apa-apa. Sedangkan Zainuddin jatuh sakit meratapi nasibnya yang miskin sehingga harus tersisih dalam mendapatkan cinta sejatinya. Ia bahkan seperti orang gila yang merana karena cinta. Beruntung ia memiliki Muluk, seorang kawan yang tak putus memberi semangat.
Maka saat Mak Base meninggal dan ia dikirimi harta warisan yang banyak. Ia memutuskan untuk pergi ke pulau Jawa. Jakarta kota yang ia tuju. Dan Muluk ikut mendampinginya. Di Jakarta Zainuddin mulai menata hidupnya. Bakat mengarangnya ia kembangkan. Dan keberuntungan pun menghampiri. Zainuddin berhasil menjadi pengarang terkenal dengan inisial "Z" seluruh negeri mengenalnya. Tak terkecuali Hayati. Hatinya merasakan hal itu, sebab cerita yang ditulis Mr.Z adalah kisahnya.
Tetapi lagi-lagi ia tak mampu berbuat apa-apa.
Zainuddin yang sudah yakin dengan pilihan pekerjaannya sebagai pengarang, ingin memiliki penerbitan. Ia ingin mencetak buku sendiri. Dan Surabaya menjadi kota Tujuannya. Sebab di sana masih sepi penerbitan. Selain itu dekat dengan Mengkasar.
Suatu hari nanti ia berniat pulang ke kampung halamannya. Batipuh, Padang Panjang hanya akan jadi kisah saja baginya. Derita cinta nyaris menghancurkan hidupnya. Tetapi Allah memang maha baik. Dibalik derita cinta ada ilham luar biasa yang mampu mengubah jalan hidupnya.
Zainuddin yang memang berdarah Minang, oleh perkumpulan orang-orang Sumatera yang merantau sangat diagungkan. Selain karena ia seorang pengarang terkenal, Zainuddin juga dikenal karena keluhuran budinya. Maka saat perkumpulan itu mengadakan acara Zainuddin pun diundang sebagai tamu kehormatan. Tanpa di duga di sana ia bertemu dengan Hayati dan Aziz.
Pertemuan yang mengaduk-aduk perasaan Hayati dan Zainuddin.
Tetapi sangat menyenangkan bagi Aziz. Sebab ia bisa mendompleng nama besar Zainuddin. Aziz pindah ke Surabaya karena ketahuan akhlak buruknya oleh orang-orang kantor. Berjudi sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tetapi di Surabaya sifat itu tak berubah. Ia bahkan terlibat hutang dan menyebabkan ia bunuh diri karena tak sanggup menghadapi hidup. Dalam surat wasiatnya ia menyerahkan kembali Hayati kepada Zainuddin.
Hayati pun tinggal bersama Zainuddin. Tetapi selama tinggal satu atap, tak sekali pun Zainuddin ingin bercakap-cakap dengan Hayati. Hal ini membuat bingung Hayati. Apalagi saat Zainuddin memintanya untuk kembali ke Padang. Hayati benar-benar sedih dan sakit hati. Ia tak mengira orang yang ia cintai seumur hidupnya akan berbuat seperti itu. Rupanya Zainuddin masih mendendam atas perlakuan keluarga Hayati. Sehingga rasa cintanya terhadap Hayati ia tekan demi harga dirinya.
Hayati pun pulang ke Padang dengan tiket kapal laut yang sudah disiapkan Zainuddin. Kapal Van Der Wijck tujuan Tanjung Priok untuk transit dan melanjutkan perjalanan lagi menuju pelabuhan Teluk Bayur.
Setelah melepas Hayati, rupanya hati Zainuddin tak tenang. Karena sesungguhnya ia pun masih mencintai Hayati. Atas nasihat Muluk, Zainuddin pun berniat berangkat ke Jakarta menggunakan kereta api. Ia akan jemput Hayati dan diajaknya kembali ke Surabaya untuk memulai hidup baru. Tetapi takdir berkata lain. Kapal Van Der Wicjk dikabarkan tenggelam.
Bukan main panik hati Zainuddin. Ditemani Muluk ia menuju tempat pencarian korban. Hayati ditemukan dalam keadaan koma. Zainuddin dan Muluk menjaga Hayati di rumah sakit. Tak henti-henti Zainuddin berdoa untuk Hayati. Saat Hayati tersadar dan mampu membuka mata, bukan main girang hati Zainuddin. Ia ungkapkan segala perasaan cinta yang sesungguhnya masih ada untuk Hayati. Dan tak pernah berkurang sedikit pun sampai saat ini. Hayati pun tersenyum bahagia. Tetapi itu merupakan senyuman terakhir bagi Zainuddin. Setelah itu Hayati menghembuskan nafas terakhir dalam genggaman Zainuddin.
Setelah kepergian Hayati, hidup Zainuddin menjadi tak menentu. Ia lebih banyak mengurung diri. Sampai akhirnya ia ditemukan sudah tak bernyawa. Kisah cinta yang berakhir tragis. Dan saya sempat menangis haru membaca buku ini. Terlepas apakah kisah ini hanya karangan ataukah kisah nyata, tetapi ceritanya mampu mengaduk-aduk perasaan. Bahkan menyiratkan keinginan untuk melihat seperti apa kampung Batipuh dan kota Padang Panjang yang menjadi latar cerita itu.
Dan sebab buku ini pula saya bisa membuat seorang nenek yang dikenal keras (sebutan lain untuk galak), bisa luluh saat bertemu saya. Saat saya tahu ia berasal dari Padang, saya katakan saya ingin tahu kampung Batipuh. Lalu ia menebak saya:
"Mba Denik sudah baca buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk,ya?" Begitu saya bilang sudah, beliau memeluk saya dengan girang dan kami pun terlibat perbincangan seru tentang buku itu.
Sejak itu kami menjadi teman lintas generasi. Rupanya ia pensiunan guru yang begitu menyukai buku karya Hamka tersebut. Maka saat mengetahui ada yang sama sukanya dengan buku itu, ia senang sekali. Dan saya juga senang bisa berguna dengan menjadi kawan berbincangnya.
aku nangis ka Denik....baper deh jadinya
BalasHapusaku nangis ka Denik....baper deh jadinya
BalasHapusIya...apalagi kalau baca bukunya langsung.
Hapus