Mudik. Tradisi yang dilakukan para perantau menjelang hari raya. Pulang ke kampung halaman setelah satu tahun bahkan lebih berada di kampung lain. Baik itu untuk bekerja atau menjalankan tugas.
Mudik menjadi momen yang paling dinanti untuk bisa berkumpul dan melepas rindu dengan seluruh keluarga. Terutama bagi para perantau yang jarak kampung halamannya jauh. Sehingga tidak bisa setiap bulan mengunjungi keluarganya.
Begitu pula yang saya alami bersama keluarga. Sudah sejak beberapa puluh tahun yang lalu kami hijrah dari Kota Surabaya ke Jakarta. Awalnya karena bapak ditarik bekerja di Jakarta. Dulu satu bulan sekali bapak pulang. Pada akhirnya kami diajak hijrah ke Jakarta. Waktu itu saya baru memiliki satu orang adik.
Seiring berjalannya waktu, lahirlah adik saya yang ketiga dan keempat. Sejak itu kami menetap selamanya. Berhubung masih ada nenek dari ibu yang tinggal di Lampung, maka kami usahakan untuk mudik ke Lampung setiap hari raya. Biasanya hanya ibu dan salah satu adik yang mudik.
Manakala kami semua sudah beranjak dewasa dan ibu mulai menua. Saya menjadi perwakilan keluarga untuk mudik dan bersilaturrahim setiap tahunnya. Kalau waktu liburnya berbarengn, saya dan salah satu adik yang mudik. Tetapi kalau bentrok biasanya saya yang meluncur sendirian. Pokoknya harus ada satu orang yang berangkat mengunjungi nenek.
Pernah suatu ketika saya enggan mudik. Adik-adik juga tidak mau kalau sendirian. Eh, ibu agak marah.
"Ya, sudah kalau enggak ada yang mau berangkat. Biar ibu aja yang berangkat sendiri.Wong cuma setahun sekali bisa ketemu saudara."
Tentu saja saya tak mengijinkan ibu pergi. Akhirnya biar adil, kami semua berangkat mudik ke Lampung demi menyenangkan hati ibu. Saya melihat sinar kebahagiaan terpancar dari wajah ibu manakala bisa berkumpul dengan saudara--saudara di Lampung.
Namun siapa menyangka bahwa itu mudik terakhir bagi ibu. Satu tahun kemudian Allah memanggil ibu pulang ke haribaan-Nya.
Setelah itu dengan perasaan hampa kami memutuskan untuk mudik bersama-sama lagi. Untuk mengenang ibu dan menunjukkan bahwa kami akan menjaga tali silaturahim meski ibu telah tiada.
Mudik selepas ibu tiada itu kami putuskan untuk konvoi naik motor ke Lampung. Biar adil. Karena saya sukanya naik motor. Adik yang satu maunya naik mobil. Yang lain terserah asal bisa duduk dengan manis. Akhirnya melalui kesepakatan bersama kami pun mudik dengan mengendarai motor.
Maka begitulah. Dengan tiga motor dan lima awak kami beramai-ramai mudik ke Lampung. Awalnya dari Jakarta sampai Merak jarak antara kami masih teejangter mata. Usai menyebrang di Bakauheni saya terpisah dengan dua motor yang lain karena jarak pandang terhalang truk.
Parahnya, kami lupa membuat kesepakatan akan melintasi Lampung Timur atau Tengah? Akibatnya di pertigaan jalan dengan jarak pandang terhalang truk-truk, kami pun terpisah. Saya memilih jalur lurus yang biasa dilalui saat mudik. Dua motor yang lain berbelok ke kanan memilih lintas timur. Di tengah jalan baru kami bisa menelpon dan sudah terlanjur jauh. Jadilah kami sepakat untuk bertemu di tujuan saja.
Saya yang membawa adik perempuan melewati lintas tengah. Tujuan kami adalah Sribawono. Ternyata lintas tengah itu jalannya rusak parah. Banyak lubang-lubang besar. Sepertinya di sana habis hujan lebat. Terlihat dari jalanannya yang tergenang air.
Saya seperti sedang off road. Harus hati-hati kalau tidak ingin tergelincir ke jalanan berlubang. Sungguh perjalanan yang berat. Pukul delapan malam kami baru tiba ditujuan. Dua motor lainnya yang memilih lintas timur belum tiba. Setelah dihubungi ternyata mereka nyasar. Salah jalan.
Kami pun hanya bisa mendoakan agar tidak terjadi apa-apa. Sebab hari sudah malam dan lintas timur adalah hutan yang belum banyak dilalui kendaraan. Sesungguhnya itu merupakan jalan pintas terdekat. Asal sudah hapal jalannya. Bagi yang tidak tentu bisa kesasar seperti yang dialami oleh adik-adik saya tersebut.
Alhamdulillah setelah cukup tegang menanti. Pukul sepuluh malam mereka pun tiba. Kami berkumpul dan bercerita usai membersihkan diri.
Layaknya hari raya, acara esok harinya kami gunakan untuk mengunjungi sanak saudara yang lain. Baik yang ada di sekitar Sribawono maupun yang berbeda wilayah. Untuk yang berada di pusat kota, kami berkunjungnya pada hari terakhir di Lampung. Agar satu arah menuju ke Jakarta.
Di pusat kota ada kawan yang seharusnya kami kunjungi. Berhubung ia pun sedang ada acara maka diputuskan untuk bertemu di pusat oleh-oleh. Selain mudah mencari lokasinya juga memaksimalkan waktu. Sambil menunggu kami bisa berbelanja oleh-oleh.
Salah satu hal yang membuat saya senang bepergian dengan mengendarai motor adalah mudah mampir-mampir. Karena tak terlalu pusing memikirkan tempat parkir. Apalagi dalam suasana hari raya. Hampir semua orang ke luar rumah untuk berkunjung ke sana-sini.
Itulah kenapa saya mengajak keluarga mudik dengan motor. Kami pun jadi bisa singgah ke Menara Siger. Ikon daerah Lampung yang bisa kita lihat begitu kapal merapat di pelabuhan Bakauheni.
Namun ada satu cerita lain yang perlu dijadikan pengalaman. Saya adalah penggemar buah pisang. Selama di Lampung saya disuguhi buah pisang segar hasil kebun yang baru dipetik. Dengan niat untuk cemilan selama di perjalanan. Saya pun membawa beberapa sisir pisang yang sudah menguning.
Ketika parkir motor di dek kapal. Saya lupa membawa pisang tersebut naik ke atas ruangan penumpang. Alhasil begitu turun kembali ke dek, pisang yang saya bawa meleleh tak berbentuk. Rupanya kepanasan. Dua jam di dek sudah seperti di oven. Tak jadilah saya makan pisangnya. Padahal waktu dibawa bagus-bagus dan segar.
Semua peristiwa tersebut menjadi pengalaman dan kenangan yang tak akan terlupakan. Juga tak mungkin terulang lagi. Sebab mereka kapok mudik dengan motor. Capek katanya. Enakkan naik mobil. Yah, begitulah. Mudik pun punya pilihan untuk kenyamanan masing-masing. Dan inilah pilihan saya. Bermotor kemana-mana. (EP)
Manakala kami semua sudah beranjak dewasa dan ibu mulai menua. Saya menjadi perwakilan keluarga untuk mudik dan bersilaturrahim setiap tahunnya. Kalau waktu liburnya berbarengn, saya dan salah satu adik yang mudik. Tetapi kalau bentrok biasanya saya yang meluncur sendirian. Pokoknya harus ada satu orang yang berangkat mengunjungi nenek.
Pernah suatu ketika saya enggan mudik. Adik-adik juga tidak mau kalau sendirian. Eh, ibu agak marah.
"Ya, sudah kalau enggak ada yang mau berangkat. Biar ibu aja yang berangkat sendiri.Wong cuma setahun sekali bisa ketemu saudara."
Tentu saja saya tak mengijinkan ibu pergi. Akhirnya biar adil, kami semua berangkat mudik ke Lampung demi menyenangkan hati ibu. Saya melihat sinar kebahagiaan terpancar dari wajah ibu manakala bisa berkumpul dengan saudara--saudara di Lampung.
Kebersamaan dengan saudara di Lampung
Namun siapa menyangka bahwa itu mudik terakhir bagi ibu. Satu tahun kemudian Allah memanggil ibu pulang ke haribaan-Nya.
Setelah itu dengan perasaan hampa kami memutuskan untuk mudik bersama-sama lagi. Untuk mengenang ibu dan menunjukkan bahwa kami akan menjaga tali silaturahim meski ibu telah tiada.
Mudik selepas ibu tiada itu kami putuskan untuk konvoi naik motor ke Lampung. Biar adil. Karena saya sukanya naik motor. Adik yang satu maunya naik mobil. Yang lain terserah asal bisa duduk dengan manis. Akhirnya melalui kesepakatan bersama kami pun mudik dengan mengendarai motor.
Maka begitulah. Dengan tiga motor dan lima awak kami beramai-ramai mudik ke Lampung. Awalnya dari Jakarta sampai Merak jarak antara kami masih teejangter mata. Usai menyebrang di Bakauheni saya terpisah dengan dua motor yang lain karena jarak pandang terhalang truk.
Parahnya, kami lupa membuat kesepakatan akan melintasi Lampung Timur atau Tengah? Akibatnya di pertigaan jalan dengan jarak pandang terhalang truk-truk, kami pun terpisah. Saya memilih jalur lurus yang biasa dilalui saat mudik. Dua motor yang lain berbelok ke kanan memilih lintas timur. Di tengah jalan baru kami bisa menelpon dan sudah terlanjur jauh. Jadilah kami sepakat untuk bertemu di tujuan saja.
Saya yang membawa adik perempuan melewati lintas tengah. Tujuan kami adalah Sribawono. Ternyata lintas tengah itu jalannya rusak parah. Banyak lubang-lubang besar. Sepertinya di sana habis hujan lebat. Terlihat dari jalanannya yang tergenang air.
Saya seperti sedang off road. Harus hati-hati kalau tidak ingin tergelincir ke jalanan berlubang. Sungguh perjalanan yang berat. Pukul delapan malam kami baru tiba ditujuan. Dua motor lainnya yang memilih lintas timur belum tiba. Setelah dihubungi ternyata mereka nyasar. Salah jalan.
Kami pun hanya bisa mendoakan agar tidak terjadi apa-apa. Sebab hari sudah malam dan lintas timur adalah hutan yang belum banyak dilalui kendaraan. Sesungguhnya itu merupakan jalan pintas terdekat. Asal sudah hapal jalannya. Bagi yang tidak tentu bisa kesasar seperti yang dialami oleh adik-adik saya tersebut.
Alhamdulillah setelah cukup tegang menanti. Pukul sepuluh malam mereka pun tiba. Kami berkumpul dan bercerita usai membersihkan diri.
Layaknya hari raya, acara esok harinya kami gunakan untuk mengunjungi sanak saudara yang lain. Baik yang ada di sekitar Sribawono maupun yang berbeda wilayah. Untuk yang berada di pusat kota, kami berkunjungnya pada hari terakhir di Lampung. Agar satu arah menuju ke Jakarta.
Di pusat kota ada kawan yang seharusnya kami kunjungi. Berhubung ia pun sedang ada acara maka diputuskan untuk bertemu di pusat oleh-oleh. Selain mudah mencari lokasinya juga memaksimalkan waktu. Sambil menunggu kami bisa berbelanja oleh-oleh.
Janjian dengan kawan di tempat oleh-oleh
Salah satu hal yang membuat saya senang bepergian dengan mengendarai motor adalah mudah mampir-mampir. Karena tak terlalu pusing memikirkan tempat parkir. Apalagi dalam suasana hari raya. Hampir semua orang ke luar rumah untuk berkunjung ke sana-sini.
Itulah kenapa saya mengajak keluarga mudik dengan motor. Kami pun jadi bisa singgah ke Menara Siger. Ikon daerah Lampung yang bisa kita lihat begitu kapal merapat di pelabuhan Bakauheni.
Siger, Lampung
Namun ada satu cerita lain yang perlu dijadikan pengalaman. Saya adalah penggemar buah pisang. Selama di Lampung saya disuguhi buah pisang segar hasil kebun yang baru dipetik. Dengan niat untuk cemilan selama di perjalanan. Saya pun membawa beberapa sisir pisang yang sudah menguning.
Ketika parkir motor di dek kapal. Saya lupa membawa pisang tersebut naik ke atas ruangan penumpang. Alhasil begitu turun kembali ke dek, pisang yang saya bawa meleleh tak berbentuk. Rupanya kepanasan. Dua jam di dek sudah seperti di oven. Tak jadilah saya makan pisangnya. Padahal waktu dibawa bagus-bagus dan segar.
Menunggu keluar dari kapal
Semua peristiwa tersebut menjadi pengalaman dan kenangan yang tak akan terlupakan. Juga tak mungkin terulang lagi. Sebab mereka kapok mudik dengan motor. Capek katanya. Enakkan naik mobil. Yah, begitulah. Mudik pun punya pilihan untuk kenyamanan masing-masing. Dan inilah pilihan saya. Bermotor kemana-mana. (EP)
#BloggerPerempuan
#30harikebaikanBPN
#BPNramadhanchallenge
#BPNblogpostchallengeday18
Serunya mudik naik motor bareng-bareng. Lebih enak memang kalau naik motor, bisa mampir-mampir. Jaga kondisi ya mbak Denik ^^
BalasHapusTerima kasih Mba. Iya, gampang mau mampir-mampirnya Mba..hehe he
HapusBelum pernah mudik naik motor, saya jarak 1 jam aja kecapeka kl naik motor, padahal dibonceng :D
BalasHapusHihihi...bisa dicoba Mba. Asik kok.
Hapus